Senin, 19 Maret 2012

SEJARAH LUWU

Tulisan ini merupakan 'hasil' dari sebuah kegelisan akan eksistensi sebuah kerajaan yang DIAKUI oleh msyarakat Sulsel pernah berjaya dan BESAR di jazirah Utara Sulsel. Kerajaan Luwu atau lebih dikenal dengan  KEDATUAN LUWU, adalah satu di antara TIGA kerajaan besar yang 'membangun' SUlawesi SelATAN secara umum pada periode Tempo Doeloe Ada dua kerajaan lainnya yakni Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.
Coba kita renungi Pernyataan berikut "Kerajaan Luwu adalah kerajaan Bugis tertua, pada 1889, Gubernur Hindia-Belanda di Makassar menyatakan bahwa masa kejayaan Luwu antara abad ke-10 sampai 14, tetapi tidak ada bukti lebih lanjut. Luwu bersama-sama dengan Wewang Nriwuk dan Tompotikka adalah tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik I La Galigo, sebuah karya orang Bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat diterima sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi dengan mitos, maka keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini terletak di Malangke yang kini menjadi wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan; Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.
Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Poso, dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:
- Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:
Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
-  Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
- Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:
- Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
-   Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
-   Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
·         Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak merubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang kemuadian bergelar "Andi Jemma".
Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pajung Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.
Atas jasa-jasa beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.
Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".
Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.
Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain: - Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. - Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:
Kewedanaan Palopo
-   Kewedanaan Masamba dan
Kewedanaan Malili
Namun dalam perkembangan kekinian --abad 20 dan abad 21-- Kerajaan Luwu sepertinya 'terhapus' dalam lembaran sejarah SULSEL. Padahal dalam sejarah perkembangan di Sulsel, Kerajaan Luwu justru memegang kendali pengaruh terhadap masyarakat Sulsel.
Keberadaan Kerajaan Gowa yang memampu menguasai bagian SELATAN Sulsel, membuahkan suku Makassar, Kerajaan Bone yang menguasai wilayah TIMUR Sulsel menghasilkan suku Bugis. Keduanya terjusttifikasi dalam kebudayaan SULSEL. Tetapi Kerajaan Luwu yang menguasai bagian UTARA Sulsel secara keseluruhan dan sebagian wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dikenal sebagai TO LUWU, tapi tidak terakui dalam lembaran BUDAYA masyarakat SULSEl sebuah SUKU yang diakuiL. TO LUWU atau orang yang bermukim di wilayah Kerajaan Luwu, justru dikategorikan masuk dalam struktur SUKU BUGIS.
Padahal sejatinya, TO LUWU adalah sebuah suku bangsa yang bermukim di wilayah Kerajaan Luwu. TO LUWU sendiri terkelompok ke dalam sembilan anak suku. itu berarti bahwa di Kerajaan Lwu ada suku bangsa dan ada anak suku. Suku Bangsa inilah disebut TO LUWU. Mereka pun memiliki struktur bahasa sendiri sebanyak duabelas bahasa.
Dalam terori antropologi;  Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut, dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.
Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok. Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis. Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru.
Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah (patrilinial) seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu (matrilineal) seperti suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku Jawa.
Adapula yang menentukan berdasarkan percampuran ras seperti sebutan "orang peranakan" untuk campuran bangsa Melayu dengan Tionghoa, "orang Indo" sebutan campuran bule dengan bangsa Melayu, "orang Mestis" untuk campuran Hispanik dengan bumiputera, "orang Mulato" campuran ras Negro dengan ras Kaukasoid, Eurosia, dan sebagainya.
Adapula ditentukan menurut agamanya, sebutan Melayu di Malaysia untuk orang bumiputera yang muslim, orang Serani bagi yang beragama Nasrani (peranakan Portugis seperti orang Tugu), suku Muslim di Bosnia, orang Moro atau Bangsamoro di Filipina Selatan, dan sebagainya.

8 komentar:

  1. Kalau saya baca posting di deberapa blog saya semakin bingung aja terutama jika membaca tentang suku Bugis, Luwu dan Toraja. Saya hanya mau meluruskan posisi orang Toraja di Luwu. Sesuai yang saya teliti. Disini perlu di bedakan antara ORANG TORAJA dengan DAERAH TORAJA.
    Saya copas tulisannnya:
    Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Ini sumbernya darimana?? Dan mana buktinya jika Tana Toraja (makale-rantepao) adalah bagian dari luwu? Memang leluhur Datu Luwu berasal dari toraja di tongkonan Manaek di nonongan kab. Toraja Utara, namun tidak berarti wilayah Toraja itu bagian dari Kerajaan Luwu. Buktinya lihat fakta dilapangan. Justru ketika kita berbicara budaya maka justru sebaliknya akan mengangetkan semua pihak.
    Yang benar bahwa wilayah Kerajaan luwu berbeda dengan wilayah Afdeling luwu. Kerajaan luwu diperntah oleh Datu Luwu meliputi seluruh wilayah kerajaan luwu sedang Afdeling Luwu diperintah oleh Belanda yg terdiri dari 5 onderafdeling termasuk seluruh wilayah kadatuan luwu ditambah dengan wilayah Makale – Rantepao (Toraja). Mengapa Toraja (Makale Rantepao) dimasukkan ke dalam Afdeling Luwu? Itu krn Daerah Toraja adalah daerah yg paling terkhir dijajah oleh belanda sehingga langsung digabungkan dengan Afdeling Luwu yg terdekat waktu itu dan adanya kesamaan bahasa, budaya menurut peneliti yg datang sebelum pemerintahan belanda berkuasa.
    Jadi HARAP BEDAKAN: Kerajaan Luwu dengan Afdeling luwu.
    Oh Iya.... Menurut peneliti bahasa, dan antropolog GZB sebelum pemerintah resmi Belada menginjakkan kaki di afdeling Luwu, mereka menyimpulkan bahwa termasuk suku Toraja dibagi 4 golongan besar, (sumber: Benih Yang Tumbuh, Rangkaian Tanah air Toraja, Panda Harahap, Memorie van over gave van den aftredenden asisten residen van lowoe: D. Reedveldt Boer, 5-7-1913), yaitu:
    1. Toraja Barat: Kulawi Kaeli, Sagie, To Napu, To Besaa, To Bada’, Rampi dan Leboni
    2. Toraja Timur atau Toraja Bare’e di Poso
    3. Toraja Bungku-Mori di Luwuk, to Laki di kendari, Kolaka dan to Mengkoka
    4. Toraja Selatan atau Toraja Sa’dan dan atau Toraja Tae’: Makale, Rantepao, Mamasa, Duri, aliran satu (sungai) Noling (jenne maeja) dan aliran sungai Lamasi dan di onderafdeling Masamba
    Jadi jika kita berbicara apakah orang luwu termasuk suku mana maka kita akan menjawabnya suku Toraja sesuai kenyataan yg ada karena adanya kesamaan bahasa, budaya dan adat istiadat masa lampau dan asal-usul leluhur mereka. Sekarang ini luwu dan daerah lain menjauh dari Toraja akibat adanya perbedaan agama dan pemerintahan daerah serta adanya perubahan adat-istiadat yg begitu cepat setelah masuknya agama baru (Islam dan Kristen) di daerah ke 4 kelompok suku Toraja seperti disebutkan diatas.

    BalasHapus
  2. maddika bua membawahi bua, walenrang, makale, rantepao,dll. jika makale dan rantepao tidak masuk berarti hanya bua dan walenrang. saya yakin tidak mungkin bua hanya membawahi 2 daerah itu. sebab kalau hanya dua tidak efisien, pasti akan digabung ke makole baebunta atau maddika ponrang. Soal luwu memang buku suku. seperti juga bone itu juga bukan suku akan tetapi hanya nama kerajaan seperti halnya luwu hanya nama kerajaan. lalu suku2 apa saja yang ada di luwu? jawabnya setidaknya sekitar 12 suku. Saya sendiri adalah orang ware. Nenek moyang saya sultan abdullah petta matinroe malangke merupakan raja luwu ke-15. kakek saya saya andi sangngi opu ambena apung adalah makole baebunta. diatasnya lagi sebagai maddika ponrang. kalau masamba mau dimasukkan toraja oke2 saja. tapi masamba sendiri tempat kedudukan makole baebunta. jika masamba masuk toraja, sedang masamba/baebunta tempat kedudukan makole baebunta sementara makole baebunta adalah bagian pemerintahan kerajaan luwu, maka dengan sendirinya toraja masuk wilayah luwu, clear deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jika merujuk tulisan S.Daeng Mallonjo (Pabbisara Bua) bahwa "Toraja" merupakan Wilayah Administrasi Kemaddikaan Bua.
      Jadi jika memperhatikan komentar Anda menunjukkan kesamaan data.

      Hapus
  3. lokna pa yang penting tuo lan lino

    BalasHapus
  4. seandainya toraya mayoritas muslim..maka tidak ada lagi perdebatan tentang sejarah sulsel..mari kita renungkan bersama

    BalasHapus
  5. Pandangan Daeng Paliweng ada benarnya jika merujuk pada tulisan S.Daeng Mallonjo (Pabbisara Bua). Menurut beliau bahwa Toraja merupakan wilayah Administrasi Kemaddikaan Bua.

    BalasHapus
  6. Pandangan Daeng Paliweng ada benarnya jika merujuk pada tulisan S.Daeng Mallonjo (Pabbisara Bua). Menurut beliau bahwa Toraja merupakan wilayah Administrasi Kemaddikaan Bua.

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus